Aku
tidak suka bekerja dan hidup sendiri di tengah ibukota. Sejak pandemi menyerbu
seluruh belahan dunia, aku terjebak di kota ini dengan kesepian dan berjuta kekhawatiranku.
Selama ini aku baik-baik saja, sibuk bekerja, pulang hampir menuju tengah malam,
berdesakan di transjakarta dan tidak ada waktu untuk berlibur bahkan di akhir
pekan. Namun tiba-tiba dunia berubah seratus delapan puluh derajat, setiap
orang kehilangan ruang gerak dan berujung pada rasa sepi yang menjalar
kamana-mana. Sepi sekali, yang kulihat hanya tembok dan kamar mandi,
satu-persatu orang menarik diri dari hidupku, tidak ada tempat bercerita, dan
kesepian ini menjalar sampai ke ulu hati. Apakah abi merasakan sepi yang sama?
Sejak aku tumbuh dewasa dan tidak lagi menjadi perempuan pesakitan, aku semakin
egois. Meskipun Kakak Abi adalah teman
terdekatku dan suaminya adalah adikku, aku tidak mampu menjangkaunya. Aku tidak
tahu takdir apa yang sedang Tuhan rencanakan untukku.
Rakka
dan Luna mungkin mengalami hal yang sama, sejak mereka berdua memutuskan pindah
ke Australia karena pekerjaan, aku makin kesepian. Lima tahun lalu Rakka sadar
dari koma, setelah kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Sementara aku
menjadi pesakit, Luna selalu menggantikan posisiku untuk merawatnya sampai
sembuh. Dua bulan setelah rakka kembali dari rumah sakit, mereka berdua menikah
dan pindah ke Australia, lima bulan setelahnya. Sejak mereka berdua bertemu,
aku tahu mereka akan berjodoh, betapa indahnya takdir yang Tuhan tuliskan untuk
mereka.
Sore
itu, ketika rakka sadar dari koma, aku tidak ada di sisinya. Abi mengajakku
duduk di taman rumah sakit, tempat yang sudah biasa ku kunjungi seketika
menjadi sangat spesial. Hatiku bergemuruh, ku kira saat itu adalah akhir dari
lika-liku hubungan kami. Abi menciumku, ciuman pertama seorang perempuan 22
tahun yang tidak tahu apa-apa. Ciuman terakhir dari laki-laki yang sangat
kucintai hingga rasanya aku hampir mati. Aku kira segalanya akan berjalan mulus
setelah itu, kenyataanya tidak. Laki-laki itu, aku tidak dapat menjangkaunya
lagi……
Sekarang
aku hidup sendiri di kota yang menjadi pusat semua manusia berkumpul tetapi aku
kesepian, amat sangat kesepian sampai aku tidak berharap diselamatkan
seandainya terjadi bencana tak terduga. Bunda meninggal tiga tahun lalu, rakka
mungkin akan menetap di Melbourne jika pekerjaanya sebagai dosen semakin
stabil, luna sudah memiliki kesibukan lain, tentu saja. Aku tidak memiliki
kesibukan lain selain tidur, bangun, bekerja, lalu tidur lagi, itulah sebabnya
aku benci bekerja.
Hidupku sangat lambat,
aku menyadarinya ketika orang-orang sudah berada di lingkaran yang berbeda
sementara aku masih disini, terjebak.
***
“Jangan
lupa minum obat, vitamin, jangan tidur larut malam”
Setiap hari aku menerima
pesan dengan isi yang sama, membacanya dengan perasaan yang sama, kadang jika
aku benar-benar lelah aku akan menangisinya sampai terbawa tidur. Pesan ini
dikirim oleh orang yang sama, Abi. Ia menikah 2 tahun yang lalu dengan
seseorang yang tidak ku kenal sebelumnya, aku tidak tahu siapa yang harus
kupercaya, Abi menghamili perempuan itu dan ia ingin bertanggung jawab sebagai
lelaki. Ku kira akulah satu-satunya. Pesan itu ia kirim hanya sebagai tanda
bahwa ia merasa sangat bersalah.
Hatiku
hancur setiap kali membayangka bagaimana bisa lelaki yang kuanggap baik, sangat
baik, tiba-tiba menangis didepanku dan mengakui dosa-dosanya didepanku.
Katanya, ia tidak tahu harus berbuat apalagi selain mempertanggungjawabkan
perbuatanya. Tidak, aku tidak bisa percaya lelaki sebaik abi menyentuh bahkan
menghamili perempuan lain, bagaimana bisa ia berubah menjadi brengsek seketika?
Aku mengenalnya sangat baik, tidak pernah sekalipun aku membayangkan ia pandai
menyentuh perempuan yang tidak ia kenal baik.
Aku
menangis seperti orang sekarat, rakka pulang keesokan harinya dan menghajar abi
habis-habisan. Hubungan mereka kembali membaik karena walau bagaimanapun abi
dan rakka seperti kakak dan adik yang tumbuh bersama. Aku kehilangan kendali
hidup bahkan sampai sekarang. Aku menolak berbicara dengan Abi, aku tidak
sanggup lagi memandang mata yang dulu sangat kukagumi, tetapi sampai detik ini
ia masih mengirimkan pesan dengan isi yang sama. Aku tidak bisa berbuat apa-apa
selain menangisi nasibku.
Aku
tidak tahu apa maksudnya, aku tidak mampu menghentikannya. Aku tidak ingin.
Ketika mabuk, aku
kehilangan kendali diri dan menghubungi Abi, mengatakan semua yang ada di
otakku tanpa berfikir panjang, hal terparah yang pernah aku lakukan adalah
mendatangi apartemennya. Pagi-pagi buta aku menyelinap pulang dari apartemennya
lalu menghubungi luna di siang hari setelah kontrol alkohol terhadap diriku
berkurang. Aku bahkan tidak tahu dengan siapa aku tidur semalaman.
“Aku nggak akan
pernah menyalahkan kamu ki, aku tahu kamu bertindak diluar kesadaran, aku khawatir
kamu akan begini terus, you are 28 now, so please”
“Luna, I was drank too
much”
“that’s why kamu
harus menjauh dari alkohol, sejak kapan kiki yang aku kenal menyentuh alkohol?”
Luna bernafas berat pertanda ia benar-benar marah,
“kamu nggak tahu
hidup yang aku jalani sekarang seperti apa”
“I know, I know it
must be too tough for you, kamu tahu bicara apa saja kamu semalam di depan
abi dan anaknya?” Aku harap luna tidak menceritakan bagian ini, tetapi
terlambat,
“Abi, aku tersiksa setiap
hari, aku menghabiskan masa mudaku dengan kamu, kenapa kamu harus menikah
dengan perempuan lain, dengan ibu yang tidak tahu cara bertanggungjawab sebagai
ibu, kamu bisa pakai badan aku buat kebutuhan kamu bi, kenapa kamu ngga berbuat
apa-apa? Aku hampir mati setiap hari begini” luna memenggal kalimatnya dua
detik dan membuang nafas berat, “That’s how horrible you’re last night in
front of that kid, abi nelfon aku cerita semuanya sambil nangis
sesenggukan. Its his first time nangis ngga berdaya seperti ini”
Aku mengacaukannya. “I
know your body couldn’t handle the pain anymore, that’s why you drank too much
so the alcohol would handle it for you, but this is not good for you, ki”
Setelah hari itu aku
tidak berani menyentuh alkohol, atau aku akan menghancurkan masa depan anak
berusia dua tahun yang tidak tahu apa-apa. Sebagai gantinya, aku akan meminum
obat tidur jika pikiranku mulai kacau.
**
Perempuan itu bernama Kana,
ia cantik dan memiliki rambut Panjang yang indah. Aku tidak ingin mencari tahu
dimana Abi dan kana saling mengenal, yang aku tahu kana adalah perempua
baik-baik yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya melampiaskan kecemburuannya
padaku, ini membuatku semakin tersiksa.
Dua tahun lalu kana
menemuiku untuk pertama kalinya, di sebuah kafe milik orangtuanya. Tentu saja
aku menolak, tetapi naluriku sebagai manusia akhirnya menyerah untuk terus
menghindarinya. Sore itu udara sangat pengap, sekalipun hujan turun dihari-hari
sebelumnya.
“Kak, aku yang memaksa
kak abi” Suara lembut kana memecah telingaku, aku tahu maksud memaksa disini.
“tolong lepaskan kak abi,
dia orang baik, aku ingin hidup dengan satu orang baik disampingku” rengeknya
seperti anak kecil. Aku menghela nafas sangat berat, rasanya aku tidak sanggup
lagi menghadapi ini.
“Abi orang paling baik
yang pernah aku kenal, aku tahu abi tidak mungkin melakukan hal diluar
kemampuan dia”
“Abi tidak pernah
sekalipun bertindak diluar batas, dia menghormatiku seperti menghormati
perempuan di keluarganya. Abi, bukan tipe orang yang akan memaksa, bukan orang
yang pasrah jika dipaksa, abi tidak pernah melakukan hal-hal sinting seperti
yang ia ceritakan padaku. Sejak awal aku tahu ia sedang mengakui perbuatan yang
tidak menjadi keinginannya” udara terasa semakin pekat, sepertinya hujan akan
segera turun. “Jika kamu ingin hidup didampingi dengan orang baik, meski hanya
satu, mulailah dengan hal baik bukan dengan kebohongan yang menyiksa hidup
orang lain”
Kana diam, dia Nampak
sibuk dengan fikiranya sendiri.
“Kak, sejujurnya aku
takut” Ia memalingkan wajahnya, sedetik kemudian memaksaku untuk beradu bola
mata, “Tidak ada cara lain, aku mohon lepaskan kak abi, ikhlaskan kami”
Tangisku pecah, hatiku
seperti diris-iris tidak pernah aku membayangkan akan ada perempuan lain
mengadu dan memohon kepadaku untuk melepas orang yang amat sangat kusayangi
hingga ke urat nadi.
“Menikahlah, aku yang
akan menghindar demi kebaikan”
Sore itu berakhir dengan
Kana yang memelukku dengan sangat erat, seperti tidak tahu harus berbuat apa.
**
Dua tahun setelah menikah
Kana melayangkan gugatan cerai. Katanya, ia ingin hidup dikelilingi dengan
orang yang lebih baik di lingkungan yang menurutnya lebih baik. Menurut Rakka
itu bukan alasan yang sesungguhnya, Kana tidak sanggup lagi dengan sikap Abi
yang hanya diam padahal setahuku abi bukan orang yang pendiam, katanya Abi
berubah drastis, ia lebih memilih diam daripada harus berdebat karena
masalah-masalah kecil. Puncaknya, kana tidak sengaja memergoki abi yang
menangis di balkon belakang rumah bak istana mereka. Setelah diselidiki hampir
setiap malam abi kedapatan di tempat yang sama, dan menangisi hal yang sama;
Aku. Mengetahui ini hancur lebur pertahananku selama bertahun-tahun, aku
memutuskan untuk pindah keluar kota untuk menghindari konflik lebih lanjut.
Mereka bercerai awal
desember, hak asuh anaknya jatuh ke tangan kana, tentu saja kekayaan orangtua
kana akan membeli segalanya. Abi semakin hancur tidak berbentuk, aku semakin
hancur mengetahui lelaki ini hancur. Sebulan sekali Abi diizinkan bertemu
dengan anaknya, sedangkan istrinya memilih pergi keluar negri untuk menetap di
Swedia entah untuk apa.
Jika difikir-kiri hidupku
dan Abi sama-sama hancur…..
***
Note:
Cerita ini kutulis pada pertengahan tahun 2009, ketika aku masih duduk di bangku sekolah kejuruan. Selain mengabaikan penjelasan guru, aku lebih tertarik menulis apasaja yang ada di otakku. Ini adalah kali pertama aku mempublikasikanya secara daring dengan masih menggunakan judul asli, draft asli dari novel ini terdiri dari dua buku tulis yang masing-masing setebal 100 lembar. Aku tidak pernah menyangka tulisan ini akan menjadi salah satu kenangan yang tidak bisa kutinggalkan, bahkan setelah hampir 11 tahun berlalu. Semoga aku selalu memiliki waktu luang untuk mengabadikan tulisan yang selalu kukagumi sendiri, bravo mey!